Kita Ada Untuk Menerima Kegagalan


Dulu, sewaktu masih SMP kelas satu, gue sudah merencanakan ingin melanjutkan sekolah dimana. Gue kepengen banget masuk sekolah favorite gue, SMAN 5. Itu dalah sekolahnya Ayah dan Mama dulu, alasanya cukup absurd. Karena gue pengen banget punya siklus relationship kayak mereka. Pemikiran seperti ini mungkin terjadi akibat setiap pulang sekolah gue hampir tiap hari menghabiskan istirahat siang dengan menonton FTV, bukan belajar.

Ayah dan Mama pacaran dari SMP, SMA dan kuliah, sampai kerja pun masih satu tempat, mereka selalu bareng-bareng. Lalu setelah itu mereka menikah. Jarang banget kita temukan di zaman sekarang, Yang ada baru tiga bulan pacaran sudah putus “aku bosen sama kamu, kita udahan dulu ya.” Oke, gue enggak gini banget. Tapi lebih parah.

Setelah lulus SMP gue lalu melanjutkan sekolah, namun gue gagal masuk sekolah favorit gue, dan ngenesnya lagi gue gagal tiga kali menjalani hubungan semasa sekolah. Dan disini gue sadar untuk melanjutkan hidup kedepannya dengan cara lebih sederhana. Lulus Sekolah – Kuliah – Kerja kantoran – cari cewek yang mau menikah dengan gue. Namun pada akhirnya harapan dari sebuah rencana membuat gue belajar saat usia sudah seperempat abad, bahwa;

Tidak ada yang pasti, selain hanya bisa merencanakan.

Ya kegagalan gue adalah ketika apa yang gue rencanakan tidak kesampaian sama sekali. Berharap punya kehidupan yang normal dan sederhana, nyatanya seiring waktu berjalan kita akan menemukan dan dipertemukan dengan berbagai hal yang unik, menarik namun tetap tak luput dari rasa sakit hati dan kecewa.

Kita ada untuk menerima kegagalan. Hadirnya kita di planet ketiga terdekat dari Matahari ini bukan cuman untuk mengeluh dan nyinyir sama status instastories orang-orang. Tapi kita dilahirkan untuk bisa menerima kegagalan, lalu belajar bagaimana kedepannya.

Setiap orang punya standar kegagalan versi masing-masing, tergantung bagaimana akhirnya dia menerima dan melanjutkan. Namun percayalah, setiap yang terjadi pasti ada sebab dan akibat.

Saat membuat postingan ini gue coba bertanya kepada teman-teman di Instagram tentang kegagalan yang mereka alami. Dan tidak sedikit kegagalan yang mereka sampaikan adalah sebuah kegegalan yang gue rasa merupakan penilaian dari masyarakat.

Dinilai Gagal Karena Sebuah Standar Penilaian Masyarakat?

Mau tidak mau, suka tidak suka kita hidup bersosial. Saling bergantung pada mahluk memang sudah takdir, namun yang menentukan jalan sebuah cerita dalam catatan hidup adalah diri kita sendiri. Sayangnya lingkungan kita terutama yang gue rasakan di Indonesia, punya standar kebahagiaan yang harus disama-samakan.


Gagal Masuk Sekolah/Kuliah Yang Diinginkan

dead fuck my life GIF

Saat gue tahu nilai UN gue di SMP sangat menyedihkan, saat itu juga gue tahu kalau gue enggak bakalan bisa masuk sekolah favorit gue. Lalu pada akhirnya gue memilih sekolah “Yang penting ada jurusan yang gue mau” itu salah satu standar gue. Namun yang gue jalani ketika sekolah disana malah tidak sesuai dengan apa yang gue harapkan, bahkan saat gue magang pun masih saja mendapati kejadian-kejadian tidak mengenakkan.

Saat itu gue benar-benar ngerasa menyesal kenapa harus masuk sekolah itu dan magang di tempat yang dimana gue malah banyak mendapatkan penderitaan. Gue pun sempat menggerutu.
“Coba kemarin nilai gue bagus, pasti enggak bakalan begini.”

Ketika kita merasa gagal maka kita akan mencari-cari sumber kesalahan, manusiawi memang.
Tapi setelah dua tahun kejadian itu berlalu, gue benar-benar tersenyum. Kalau saja tidak sekolah dan magang di tempat itu mungkin sampai saat ini mimpi untuk menerbitkan sebuah buku hanya menjadi angan-angan.

Jadi jangan terlalu menyesali dengan apa yang terjadi. Insya Allah pasti ada hal baik yang dapat kita ambil.

Seorang teman blog gue juga bilang lewat DM Instgaram;

“Gagal? Gak pernah. Pernahnya; belum berkesempatan/belum rezekinya.”

Contohnya pas mau ambil jurusan seni musik dan hal-hal yang ga ada hubungannya sama itung-itungan. Waktu itu, mungkin belum waktunya. Nunggu, nunggu, nunggu, eh pas lulus langsung keterima kerja di digital agency yang sesuai passion, ga ada itung-itungan, dan tentunya fun😄

Terus setelah gue tanya apa hikmah yang dia dapat ketika kuliah salah jurusan.

Hikmahnya kuliah di arsitek sih jadi bisa lebih detail (karena terbiasa ngitung bangunan dan segala macem😂), lebih tau ngatur waktu, dan yang pasti lebih disiplin!

Tuhkan.

Gagal Lulus Kuliah Tepat Waktu

backflip graduation GIF

Ini gue banget. Banyak juga ternyata teman-teman gue di sosialmedia yang merasa gagal kuliah karena tidak bisa lulus tepat waktu. Mari kita tertawa bareng-bareng yang kuliahnya sepuluh semesteran.

Buat kalian yang saat ini masih kuliah dan teman-teman seangaktan sudah pada wisuda, jangan berkecil hati. Terkadang kita kurang beruntung dalam akademik, tapi kita pasti selangkah didepan dilain hal.

Orang-orang yang terlambat lulus kuliah punya cerita yang beragam memang, permasalahannya bisa jadi datang dari internal, namun terkadang juga faktor eksternal seperti Dospem, peraturan prodi yang bertele-tele, atau bahkan putus cinta mishalnya. Tsaahh.

Yang terpenting jangan sampai kena DO, itu sih menurut gue. Selama apapun kuliah dan tidak menganggu hal-hal lain terutama pekerjaan (buat yang kuliah sambil kerja) semua sah saja.

Gue juga kemarin kuliah sambil bekerja sebagai guru, mendidik anak orang di sekolah menjadi hal yang sangat sulit karena gue juga dalam masa Pendidikan kuliah. Dampaknya karena terlalu fokus dengan pekerjaan dan menikmati uang lebih dulu, dan akhirnya gue kuliah tidak lulus tepat waktu.

Namun sekali lagi, masyarakat punya penilaiaan standar dan terkadang suka membanding-bandingkan. Apa lagi kemarin baru aja lebaran, pasti ditanya tanya kapan lulus kuliah. 

“Eh… si Burhan bukannya seangkatan sama kamu ya? Kok dia udah lulus?”
“Ya, iyalah dia kuliah D3. Gue kan S1.”

Padahal, lulus kuliah tepat waktu atau diwaktu yang tepat, keduanya punya permasalahan masing-masing. Tinggal kita memilih dan bisa bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri, bukan orang lain.

Gagal Menikah Diusia Standar

broken heart drama GIF by Comedy.com

Dikutip dari Detik.com:

“Level pertama diatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. "Artinya, pada level pertama, pada dasarnya batas minimal usia perkawinan adalah 21 tahun. Boleh menikah di bawah 21 tahun dengan syarat mendapat izin orang tua," ujar Lukman.

Level kedua, perkawinan di bawah usia 21 tahun hanya dimungkinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun, dan keduanya mendapat izin dari kedua orang tua. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Perkawinan. 

Level ketiga, jika ada pasangan yang ingin menikah di bawah usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, mereka harus meminta dispensasi kepada pengadilan berdasarkan putusan hakim atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak laki-laki atau pihak perempuan.

Tiga paragraf diatas hanya sebuah informasi tambahan biar kita sama-sama tahu.

Dan standar masyarakat di Indonesia rata-rata menikah baik Laki-laki atau Perempuan adalah di usia 23 - 26 tahun, itu yang gue tahu. Padahal yang kita tahu, kesiapan menikah terkadang tidak bisa dinilai dari angka, baik angka usia atau bahkan angka materi.

Namun masih saja banyak orang bahkan lingkaran keluarga kita sendiri yang iseng mempertanyakan hal seperti ini, apa lagi ketika ada sepupu yang nikah duluan dan umurnya tidak jauh dari kita. Persiapan mental dan lain-lainnya pun perlu, mengingat pernikahan bukan hal yang dipermainkan.
Insya Allah, pada akhirnya kita akan tumbuh Bersama dia yang kita cintai sampai ajal tiba, dan untuk bertemu dia (pasangan) bukan hal yang bisa kita paksa-paksakan. Masing-masing orang akan bertemu diwaktu yang tepat.

Ada orang yang usia cukup untuk menikah, keuangan juga sudah lebih dari cukup, namun masih belum dipertemukan dengan jodohnya. Apa bisa kita paksa?

Sesekali saja menurut gue boleh kita menanyakan perihal kapan nikah, tapi jangan sampai membuat orang tersebut menjadi terbebani dengan apa yang sudah kita tanyakan. Cukup do’a terbaik untuknya yang kita panjatkan kepada pemilik alam semesta ini.

Menurut pandangan gue pribadi hal-hal standar seperti beberapa yang gue tulis diatas bukan lah standar yang bisa disamaratakan dan tentunya masih banyak lagi penilaian-penilaian yang tidak bisa disamaratakan.

Mendengarkan kata orang memang tidak ada yang salah, selagi masukan yang diberikan menambah wawasan dan pengalaman, serta tidak memojokkan. Tapi segala hal dan perjalanan didunia ini adalah tentang diri kita sendiri. Kita ada untuk gagal dan menyikapi kegagalan tersebut.

Apa bila sekarang kalian yang membaca tulisan ini merasa dalam posisi gagal, ingat ini.

Percayalah, setiap kita kan menjadi pemenang pada waktunya.


Sumber gambar:
- pexels.com
- giphy.com

Comments