4 Januari lalu sebelum jam dua
belas malam, gue dan sepupu gue yang dari Lombok si Renda pergi ke Office
Coffee. Satu kedai kopi favorite yang hampir tiap hari selalu gue datangi,
disana ada banyak hal yang bisa gue temukan bahkan bukan hanya soal kopi dan
pengalaman baru, seperti perkara; rasa pahit dari segelas kopi lebih bisa
dinikmati dari pada kepergian seseorang.
Malam itu gue sengaja nggak
pesan cafe latte atau v60 yang biasa gue bikin sendiri di dalam bar karena
besoknya gue harus mengajar, kalau sudah tengah malam minum kopi gue pasti rada
susah tidur kecuali 5 jam setelahnya baru bisa merem. Jadi malam itu gue
putuskan untuk menyeruput segelas hot green tealatte dan Renda memilih hot cafe latte dengan single espresso.
Gue dan Renda sudah dari zaman
orok bareng-bareng, kami dijatuhkan Tuhan ke dunia cuman selisih beberapa hari. Dulu
gue paling seneng nginep di rumah nya, waktu masih SD kami seneng main game
Mario Bros, gue masih ingat juga dulu kami pernah main bola plastik nyerang
komplek sebelah, Renda yang orangnya emang emosian malah berantem, gue yang
melihat kejadian itu cuman bisa misahin lalu narik-narik Renda ke tempat kami markir sepeda karena gue emang
nggak bisa berantem dan cemen banget waktu dulu. Ya... sampai sekarang, sih.
Pas gue balik sekolah ke
Banjarmasin si Renda malah sekolah di Lombok karena harus ikut Ayah nya yang
dapat tugas di sana. Jadi kami baru ketemu setahun atau dua tahun sekali saat
Renda dan keluarganya merayakan hari raya idul fitri di Banjarmasin.
Seiring bertambah usia, banyak
banget perubahan-perubahan yang terjadi diantara kami dari seorang remaja yang
mencoba untuk gaul. Dari yang awalnya pembicaraan kami hanya soal episode
Shincan, berubah ke soal cewek yang disukai dan soal pacar-pacaran. Tapi ada
yang nggak berubah dari Renda yaitu sifat emosi dan ego yang kadang terlalu
tinggi, oiya dan satu lagi yang nggak berubah dari Renda. Gue lebih ganteng
dari dia.
Sabar ya sabar, ini ujian, ujian
dari Allah.
Sekarang usia kami sudah kepala
dua. Gue lagi belajar ikhlas di panggil Bapak guru sama siswa-siswa gue dan
mencoba untuk menumbuhkan kumis dan janggut biar para orangtua siswa bisa
bedain mana guru mana siswa. Lelah Bapak nak dikira siswa terus. -____-“
Sedangkan si Renda baru saja menyelesaikan kuliah dan mendapatkan nilai
cumlaude yang gue lihat dari foto di instagram nya, padahal gue tahu selempang
cumlaude itu cuman photoshop.
Malam itu adalah malam terakhir
dia di Banjarmasin karena besok sudah harus ke Lombok lagi menyelesaikan
beberapa urusan kampus dan sibuk melamar kerjaan. Sebenarnya gue berharap dia
nggak balik ke Banjarmasin lagi, kerjaannya cuman nyusahin gue. Hih! Nyesel gue
punya sepupu kaya dia, pengen gue cubit keteknya pakai jepitan kuku.
Sebelum kami menyeruput sisa
minuman terakhir masing-masing, ada satu pertanyaan dari Renda yang sempat
bikin gue mikir lama. Satu pertanyaan yang bagi gue tidak biasa, namun harus
dijawab dengan jujur karena kita tidak akan pernah tahu seperti apa orang yang akan bersama kita kelak dan kita juga tidak tahu
seperti apa masa lalu nya.
“Dit, sekarang
kalau lo berada dalam dua pilihan lo pilih satu yang mana. Menikah dengan wanita perawan
atau yang sudah nggak perawan, dan keduanya mau jadi istri lo?”
Gue kaget saat Renda tanya kayak
gitu karena sebelumnya gue nggak pernah dapat atau dihadapkan dengan pertanyaan
semacam itu, apa lagi obrolan kami berdua kadang gak ada yang serius. Kalau
tanya soal hubungan LDR, ditinggalin, diselingkuhin atau soal move on mungkin
gue masih bisa jawab.
Terjadi jeda cukup lama, Renda
menatap gue menunggu jawaban sambil sesekali menjatuhkan abu rokonya ke dalam
asbak di meja kami. Karena terlalu lama gue tanya balik ke dia, lalu Renda
menjawab.
“Ya
jelas lah gue lebih memilih yang perawan, gue nggak mau istri gue pernah
ngelakuin hubungan sex sama cowok lain. Itu artinya dia nggak bisa jaga diri!”
Gue melihat ujung puting rokoknya
yang menyala-nyala, satu isapan panjang selesai setelah ucapannya berakhir dan
seketika asap rokok yang cukup banyak di keluarkannya tidak ke arah gue, karena
dia tahu gue nggak ngerokok.
Entah kenapa pandangan orang
terhadap perempuan-peremuan yang tidak perawan kadang di lihat kurang enak di
mata masyarakat. Kadang suka dinilai sebagai perempuan yang gampangan dan lain
sebagainya beraroma negatif, itu yang gue rasakan sampai sekarang di mata
masyarakat bahkan orangtua kita.
Beberapa hari sebelumnya, Ayah
dan Mama sempat berdebat kecil memutuskan soal perempuan seperti apa yang cocok
untuk mendapingi anak pertamanya ini. Sekarang gue lebih terbuka soal hubungan
dengan mereka, yang dulunya suka disembunyiin sekarang sudah saatnya mereka
kenal sama perempuan mana anak nya ini sedang dekat. Karena bagi gue, restu
kedua orangtua penting walau yang menentukan tetap gue sendiri.
Ayah bilang.
“Adit
itu hobi nya nulis, dia suka kerja di luar kayak di cafe, dia butuh suasana
tenang dan nyaman. Jadi dia nggak cocok sama perempuan yang suka mengatur apa
lagi melarang dia kemana-mana. Hobi nggak boleh diganggu tapi bukan juga
dijadikan yang utama.”
Dari sana gue tahu salah satu
sifat perempuan seperti apa yang gue butuh kan, Ayah yang biasanya cuek dan suka
marah-marahin gue waktu kecil ternyata diam-diam memperhatikan hal yang gue
sendiri kadang masih nggak tahu jawabannya.
Gue meneguk green tealatte
terakhir sebelum pukul duabelas malam, dan menjawab pertanyaan Renda.
“Dua-duanya
nggak masalah.”
Renda bingung.
“Maksudnya?”
“Ya,
keduanya kampret! Lu sok foto pakai slempang cumlaude tapi kata-kata gue aja
nggak ngerti! Dasar LEMAH!”
Gue sudah mau dipukul tapi untuk
sempat menghindar.
“Yang
serius taplak! Gue ngerti, tapi jelain maksudnya apa.”
Gue membenarkan posisi duduk dan
sesekali menatap ke lantai tanpa ada tujuan. Sekelompok orang yang baru selesai
menghabiskan kopi nya di ruang dalam Office Coffee secara teratur pulang, hanya
tersisa gue dan Renda di luar dan beberapa barista di dalam bar.
Gue menarik nafas cukup panjang, lalu perlahan mengeluarkannya dari mulut.
“Siapa
aja jodoh gue, gue akan terima. Mau dia perawan atau nggak gue nggak masalah.
Emangnya perempuan yang selaput dara nya masih utuh bisa jamin dia baik atau
cocok sama kita ya?” Tanya gue ke Renda, dia menatap gue diam. “Eh ren, semua
orang pasti punya masa lalu masing-masing mau bagaimana pun juga kita harus
terima baik buruknya dia, kalau emang lo bener-bener cinta sama seseorang sudah
pasti hal kayak gitu harus lo terima, mau dia perawan atau nggak. Apa lagi
kalau sudah ketetapan Tuhan, lo mau nantang? Yang terpenting bagi gue memilih
yang nyaman, mau terima masa lalu masing-masing, dan mau sama-sama terus jadi
pribadi yang lebih baik lagi.”
Renda masih menatap gue sambil
sesekali melihat ke lantai, gue melajutkan kalimat terakhir.
“Kalau dia punya masa lalu yang
nggak beres, berarti Tuhan memerintah kita buat bikin dia jadi orang yang lebih
baik, apa lagi dia kan yang bakalan mendidik anak-anak.” Tutup gue dengan satu
tarikan senyum tipis.
Beberapa detik setelah itu gue
melihat sedikit senyuman tipis dari sepupu kampret gue ini. Walau senyumannya menjijikan tapi gue tahu apa yang sebenarnya dia maksud.
Bagi gue cewek cantik dan perawan
akan jadi biasa aja selama nggak bikin kita nyaman, apa lagi kalau sampai
ngelarang hobi yang kita punya. Selama memang hobi yang dikerjain positife
kenapa harus dilarang-larang.
Ingat ini, sebelum kamu kenal
dia, dia sudah akrap dengan hobinya yang membuat dia lupa sosok bernama sakit
hati. Kalau ada yang ngelarang lo sudah tau jawabannya; tinggalin aja. Ya...
kecuali hobi dia selingkuh, baru lo boleh pasang bahan peledak di badannya.
Salah satu barisata Office Coffee
sahabat gue si Anjas pernah bilang:
“Kita belum hadir di masa lalu nya jadi terima dia apa adanya sekarang,
bukan melihat masa lalu nya.”
Jangan menilai seseorang
hanya dari masa lalu dia.
Sewaktu masih sekolah gue masih
ingat banget guru BK gue menggambarkan seorang perempuan seperti sebuah guci. Guci yang
sudah pecah tidak akan pernah kembali cantik walau hanya retak sedikit. Ya, gue
masing ingat.
Jujur gue juga sempat berfikir
demikian, tidak bisa dipandang baik seorang perempuan apabila dia menyerahkan
keperawannya. Namun sekarang gue tahu ini bukan persoalan utuh dan tidak utuh
seperti guci, seorang perempuan tidak layak dinilai hanya dari retak atau
tidak.
Mereka juga berhak melajutkan
hidupnya dan mereka layak mewujudkan mimpi-mimpinya. Ini hanya persoalan
keputusan mereka yang ingin melepaskan, karena mereka masih punya seribu
kebaikan jangan hanya di pandang dari selabut dara.
Teruntuk perempuan yang sudah melepas, tenang saja. Pria ini mencintai mu
dengan sungguh dan menerima masa lalu mu.
//
Tulisan ini tidak bermaksud atau beranggapan seks diluar nikah
adalah sesuatu hal yang diperbolehkan. Gue hanya ingin sedikit membuka mata
perempuan-perempuan yang mungkin sedang menangis atas bagian dari tubuhnya yang
sudah sobek.
Hei... kalian layak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sama.